SenjaKala Wikia
Advertisement

Bila kita berbicara mengenai dinasti Mataram Baru atau Mataram Islam, maka tentu tidak lepas dari silsilah trah Bondan Kejawan atau Lembu Peteng  artinya sapi yang gelap/ hitam. Mungkin dahulu orang yang dinamai “Lembu Peteng” secara fisik kuat seperti sapi dan berkulit gelap. Bondan Kejawan adalah putra dari raja terakhir Majapahit, Brawijaya V “Bhre Kertabhumi” dalam Babad Tanah Jawi dan Pararaton bernama Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dari istri selir Putri Wandan Kuning.

Dari keturunan Lembu Peteng atau Bondan Kejawan ini kelak menjadi penerus tahta kerajaan Majapahit yang runtuh akibat perang saudara. Bondan Kejawan kemudian menikah dengan Dewi Nawangsih putri dari Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub) dari istri seorang “bidadari” yaitu Dewi Nawangwulan (Legenda Jaka Tarub).

Lembu Peteng mempunyai anak bernama Ki Getas Pendawa. Dari Ki Getas Pendawa lahirlah seorang anak yang bernama Bagus Sogom/ Bagus Sunggam (versi Mangkunegaran) kelak bernama Ki Ageng Ngabdulrahman Selo/ Ki Ageng Selo (karena tinggal di desa Selo).

Kisah Ki Ageng Selo pada umumnya bersifat legenda menurut naskah-naskah babad, dan dipercaya sebagian masyarakat jawa benar-benar terjadi.

Perwira Kesultanan Demak

Ki Ageng Selo disebutkan pernah mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak. Ia berhasil membunuh seekor banteng sebagai persyaratan seleksi, namun ngeri melihat darah si banteng. Akibatnya, Sultan Trenggana menolaknya masuk ketentaraan Demak. Ki Ageng Selo kemudian menyepi di desa Selo sebagai petani sekaligus guru spiritual. Ia pernah pula menjadi guru Jaka Tingkir (Hadiwijaya), pendiri Kesultanan Pajang. Ia kemudian mempersaudarakan Jaka Tingkir dengan cucu-cucunya, yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Ki Ageng Selo Menangkap Petir

Selo-0

Buku Cerita Ki Ageng Selo menangkap Petir

Suatu ketika, saat Ki Ageng Selo sedang bertani disawah ketika cuaca mendung dan akan turun hujan. Beberapa saat kemudian air hujan turun dengan derasnya disertai dengan petir yang menyambar-nyambar. Sesaat kemudian petir tersebut akhirnya menyambar Ki Ageng Selo. Dengan kesaktiannya Ki Ageng Selo dapat menangkap petir itu yang kemudian berubah menjadi seorang kakek tua.

“Wahai halilintar, berhentilah kamu mengganggu para penduduk,” ujar Ki Ageng.

“Baiklah aku tak akan mengganggu penduduk serta anak cucumu,” jawab sang petir. Oleh Ki Ageng, petir tersebut diikat di pohon Gandrik. Penduduk sangat lega karena mereka tidak takut disambar petir lagi ketika berada disawah.

Petir atau halilintar yang ditangkap tersebut akhirnya dipersembahkan Ki Ageng Selo kepada Sultan Demak. Oleh kerajaan dibuatlah kerangkeng jeruji dari besi untuk mengurung kakek “petir” tadi dan dipertontonkan di alun-alun Demak. Suatu saat ada seorang nenek-nenek membawa kendi berisi air. Kendi isi air itu disodorkan kepada si kakek “petir” dan diminumnya. Seketika terdengar suara menggelegar memekakkan telinga dan hancurlah kerangkeng besi tersebut bersamaan dengan lenyapnya kakek dan nenek petir tersebut.

Maka dikalangan masyarakat jawa mempercayai mitos; jika sedang menghadapi hujan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar mereka akan berteriak, “Gandrik… aku putune Ki Ageng Selo.” (Gandrik aku cucunya Ki Ageng Selo). Dengan berteriak mengucapkan kalimat tersebut dipercaya tidak akan tersambar petir.

Lawang Bledheg (Pintu Petir) di Museum Masjid Demak

165008 museummasjid3-e1459110151142

Lawang Bledheg (Pintu Petir) di Museum Masjid Demak

Konon kabarnya pintu masuk Masjid Agung Demak kemudian disebut Lawang Bledheg (pintu petir), adalah untuk memperingati kesaktian Ki Ageng Selo yang bisa menangkap Petir tersebut. Lawang Bledheg yang dibuat sendiri oleh Ki Ageng Selo ini dihiasi ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang bergigi runcing, sebagai simbol petir yang pernah ditangkap Ki Ageng. Di Lawang Bledheg bertuliskan Candra Sengkala yang berbunyi “Nogo Mulat Saliro Wani”, bermak

Ki Ageng Selo dan Bende Kyai Bicak

Ki Ageng Selo juga dikaitkan dengan asal usul pusaka Mataram yang bernama Bende Kyai Bicak. Dikisahkan pada suatu hari Ki Ageng Selo menggelar pertunjukan wayang dengan dalang bernama Ki Bicak. Ki Ageng jatuh hati pada istri dalang yang kebetulan ikut membantu suaminya. Maka, Ki Ageng pun membunuh Ki Bicak untuk merebut Nyi Bicak. Akan tetapi, perhatian Ki Ageng kemudian beralih pada bende milik Ki Bicak. Ia tidak jadi menikahi Nyi Bicak dan memilih mengambil bende tersebut. Bende Ki Bicak kemudian menjadi warisan turun temurun keluarga Mataram. Roh Ki Bicak dipercaya menyatu dalam bende tersebut. Apabila hendak maju perang, pasukan Mataram biasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak. Bila berbunyi nyaring pertanda pihak Mataram akan menang. Tapi bila tidak berbunyi pertanda musuh yang akan menang.

Ajaran Ki Ageng Selo

Ki-Ageng-Selo-e1459108889549

Makam Ki Ageng Selo, Purwodadi.

Seloin pusaka, Ki Ageng Selo meninggalkan warisan berupa ajaran moral yang dianut keturunannya di Mataram. Ajaran tersebut berisi larangan-larangan yang harus dipatuhi apabila ingin mendapatkan keSelomatan, yang kemudian ditulis para pujangga dalam bentuk syair macapat berjudul Pepali Ki Ageng Selo.

Makam Ki Ageng Selo terletak di desa Selo Tawang Harjo, Kab. Grobogan, Prov. Jawa Tengah. Tak Jauh dari makam beliau, terdapat pula makam kakek buyutnya yaitu Ki Ageng Tarub dan makam ayahandanya yaitu Ki Ageng Getas Pendawa.

Advertisement